1.
DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari
satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. 4
Demam
tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut usus halus yang disebabkan infeksi
Salmonella typhi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang
sudah terkontaminasi oleh feses atau urin dari orang yang terinfeksi
salmonella. Tifoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan
para typhus abdominalis.9
2.
ETIOLOGI
Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi, basil Gram negatif, bergerak dengan rambut
getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang – kurangnya tiga macam antigen yaitu antigen
O (somatik, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida ), antigen H ( flagela )
dan antigen K ( selaput ). Dalam serum penderita terdapat zat anti ( aglutinin
) terhadap ketiga macam antigen tersebut. 9
Salmonella typhi
sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram negatif, mempunyai
flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein, dan envelope antigen (K) yang terdiri dari
polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk
lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. S. typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan
dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.8
Identifikasi Salmonella dari tempat yang normalnya
steril, seperti darah, cairan serebrospinal, dan cairan sendi tidak memerlukan
media khusus. Tinja mengandung banyak mikroorganisme lain sehingga memerlukan
media selektif seperti agar sulfat bismut atau agar deoksilat, yang mengandung
penghambat flora tinja normal. Spesimen tinja yang diletakkan dalam kaldu yang
diperkaya sebelum dilapiskan pada media agar akan meningkatkan jumlah
organisme. 7
Gambar
1.
Salmonella typhi
3.
EPIDEMIOLOGI
Penyebab demam tifoid secara klinis hampir selalu Salmonella
yang beradaptasi pada manusia, sebagian besar kasus dapat ditelusuri pada
karier manusia. Penyebab yang terdekat mungkin air ( jalur paling sering ) atau
makanan yang terkontaminasi oleh karier manusia. Karier menahun umumnya berusia
lebih dari 50 tahun, lebih sering pada perempuan, dan sering menderita batu
empedu. S. typhi berdiam dalam empedu
bahkan di bagian dalam empedu, dan secara intermiten mencapai lumen usus dan
dieksresikan ke feses, sehingga mengkontaminasi air atau makanan. 5
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting
di berbagai negara sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid
di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai
gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari
150/100.000/tahun di Amerika Serikat dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur
penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19
tahun mencapai 91 % kasus. Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan dari
Amerika Serikat. 8
Saat ini demam tifoid masih berstatus endemik di banyak
wilayah di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, di mana sanitasi air dan
pengolahan limbah kotoran tidak memadai. Sementara, kasus tifoid yang ditemukan
di negara maju saat ini biasanya akibat terinfeksi saat melakukan perjalanan ke
negara-negara dengan endemik tifoid. Pada area-area endemik, kejadian demam
tifoid paling tinggi terjadi pada anak-anak usia 5 sampai 19 tahun, pada
beberapa kondisi tifoid secara signifikan menyebabkan kesakitan pada usia
antara 1 hingga 5 tahun. Pada anak usia lebih muda dari setahun, penyakit ini
biasanya lebih parah dan berhubungan dengan komplikasi yang umumnya terjadi. Di
seluruh dunia diperkirakan antara 16–16,6 juta kasus baru demam tifoid
ditemukan dan 600.000 diantaranya meninggal dunia. Di Asia diperkirakan
sebanyak 13 juta kasus setiap tahunnya. Suatu laporan di Indonesia diperoleh
sekitar 310 – 800 per 100.000 sehingga setiap tahun didapatkan antara 620.000 –
1.600.000 kasus. Demam tifoid di Indonesia masih merupakan penyakit endemik,
mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa. Demam ini terutama muncul di
musim kemarau dan konon anak perempuan lebih sering terserang. Peningkatan
kasus saat ini terjadi pada usia dibawah 5 tahun. 9
4.
PATOGENESIS
Setelah tertelan, bakteri harus menembus beberapa
mekanisme pertahanan tubuh pejamu sebelum menimbulkan infeksi. Biasanya
Salmonella mati pada lingkungan yang bersifat asam, oleh karena itu terjadi
pengurangan inokulum yang banyak setelah bersentuhan dengan isi lambung.
Pengurangan selanjutnya terjadi di usus halus melalui efek antibakteri langsung
dari pertarungan organisme dengan flora usus normal. Gangguan mekanisme
pertahanan pejamu ini meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.7
Ketika masuk ke dalam usus halus, bakteri melekat
pada permukaan epitel, yang menimbulkan kerusakan sel pada brush border. Invasi mukosa
sesungguhnya oleh salah satu dari dua mekanisme yang berbeda menimbulkan
infeksi klinis. Proses pertama ialah masuknya segera bakteri secara langsung ke
epitel, kedua terjadi proliferasi intraluminal organisme menjadi inokulum yang
cukup menaklukkan pertahanan pejamu setempat. Kemudian salmonella memasuki
sitoplasma epitel melalui invaginasi membran sel dan tinggal di dalam vakuola ini
sampai dihantarkan ke lamina propria, tempat terjadinya reaksi peradangan yang
hebat. Bercak Peyer di ileum distal adalah tempat primer penetrasi bakteri.
Sistem retikuloendotelial slanjutnya akan dikolonisasi melalui aliran limfe.
Limfe yang mengalir melalui duktus torasikus menghantarkan bakteri masuk ke
aliran darah, dari sini terjadi diseminasi ke organ yang jauh. Sel
retikuloendotelial di sumsum tulang, hati dan limpa memakan bakteri yang
menyebar secara hematogen ini, yang kadang – kadang menimbulkan fokus infeksi.
Organisme yang menyebar melalui darah
mencapai kandung empedu, memperbanyak diri, dan masuk empede serta usus
halus secara sekunder.7
Salmonella dapat hidup di dalam sel untuk waktu
lama. S. typhi dietemukan di dalam
fagosit mononuklear di jaringan limfe pejamu, ketidakmampuan monosit menghancurkan
S. typhi secara efektif setelah melakukan fagositosis mungkin berperan pada
penyebaran luas organisme penyebab selama demam tifoid. S. typhi virulen juga dapat menghalangi metabolisme oksidatif
leukosit polimorfonuklear, yang mencegah penghancuran bakteri yang difagosit
pada stadium dini infeksi. Selanjutnya, kemampuan menolak imunitas selular
pejamu bisa berperan pada patofisiologi yang menyebabkan demam tifoid. 7
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses
kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu :
1.
Penempelan dan invasi sel – sel M Peyer’s patch
2.
Bakteri bertahan hidup dan
bermultifikasi di makrofag Peyer’s patch,
nodus limfatikus mesenterikus, dan organ – organ ekstra intestinal sistem
retikuloendotelial
3.
Bakteri bertahan hidup di dalam aliran
darah
4.
Produksi enterotoksin yang meningkatkan
kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke
dalam lumen intestinal. 8
Gambar 2.
Patogenesis Demam Tifoid
5.
GEJALA
KLINIS
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari
gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat
sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonella,
status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit di rumahnya. 8
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih
ringan jika dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata – rata 10 –
20 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu
perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak besemangat. 4
Umumnya gejala klinis timbul 8-14 hari setelah
infeksi yang ditandai dengan demam yang tidak turun selama lebih dari 1 minggu
terutama sore hari, pola demam yang khas adalah kenaikan tidak turun selama
lebih dari 1 minggu terutama sore hari, pola demam yang khas adalah kenaikan
tidak langsung tinggi tetapi bertahap seperti anak tangga (stepladder), sakit
kepala hebat, nyeri otot, kehilangan selera makan (anoreksia), mual, muntah,
sering sukar buang air besar (konstipasi) dan sebaliknya dapat terjadi diare.3
a. Demam
Semua pasien demam
tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era pemakaian entibiotik
belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai
istilah khusus yaitu step-ladder temperatur
chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara
bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama. 8 Dalam minggu ke-2 penderita terus berada dalam
keadaan demam. Dalam minggu ke-3 suhu badan berangsur – angsur turun 4 kecuali apabila terjadi fokus
infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. 8
b. Gangguan
pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat
napas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah – pecah(ragaden). Lidah
ditutupi selaput putih kotor ( coated
tongue ), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen
mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meterorismus). Hati dan limpa membesar
disertai nyeri pada perabaan.4
c. Gangguan
kesadaran
Pada saat demam sudah
tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat,
seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran
mulai apati sampai koma. 8
Rose spot,
suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm, seringkali
dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul
pada hari ke-7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
Status
tifosa :
-
Demam lebih dari tujuh hari
-
Lidah kotor, ujung dan tepinya kemerahan
-
Gangguan kesadaran yang berupa penurunan kesadaran
ringan, apati, somnolen, hingga koma.8
Gambar
3.
Lidah kotor, tepi hiperemis
6.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
a.
Hematologi
·
Kadar hemoglobin dapat normal atau
menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus atau perforasi. 3
·
Hitung leukosit sering rendah
(leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi. 3
·
Hitung jenis leukosit: sering
neutropenia dengan limfositosis relatif. 3
·
LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat 3
·
Jumlah trombosit normal atau menurun
(trombositopenia). 3
b.
Urinalis
·
Protein: bervariasi dari negatif
sampai positif (akibat demam) 3
·
Leukosit dan eritrosit normal; bila
meningkat kemungkinan terjadi penyulit. 3
c. Kimia
Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan
sampai hepatitis Akut. 3
d.
Imunologi
·
Widal
Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi / paratyphi (reagen). Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin.Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik lain. 3
Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi / paratyphi (reagen). Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin.Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik lain. 3
Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160 ,
bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat
penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir
minggu. Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini
pada penderita yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil
reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat
itu tetapi dari kontrak sebelumnya. 3
·
Elisa
Salmonella typhi/paratyphi lgG dan lgM
Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru,
yang dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk
mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebagai tes cepat (Rapid Test)
hasilnya juga dapat segera di ketahui. Diagnosis Demam Typhoid/ Paratyphoid
dinyatakan 1/ bila lgM positif menandakan infeksi akut; 2/ jika lgG positif
menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik. 3
e.
Mikrobiologi
·
Kultur (Gall culture/ Biakan
empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold
standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil
: jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam
Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari
2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan
membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat
pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi
antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi.Kekurangan uji ini adalah hasilnya
tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman
(biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu
sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit
adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin
dan tinja. 3
f. Biologi
molekular.
·
PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode ini mulai banyak
dipergunakan. Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian
diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat
mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) serta
kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen
yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan
biopsi. 3
7.
DIAGNOSA
Salmonella
harus selalu dipikirkan sebagai penyebab potensial gastroenteritis. Demam, tanda – tanda disentri, defisiensi
imun, baru imigrasi dari daerah endemik, atau kaitan dengan sumber wabah yang
umum harus meningkatkan kecurigaan.7
Tinja
harus selalu dibiak. Bila tidak diperoleh tinja segar, dapat dibiak apusan
rektum, walaupun kemungkinan menemukan organisme lebih rendah. Kompetisi
bakteri dan sedikitnya inokulum mungkin memerlukan pembiakan lebih dari satu
spesimen untuk menemukan Salmonella. 7
Gastroenteritis
dengan demam, terutama pada anak berusia di bawah 2 tahun, biasanya merupakan
indikasi untuk melakukan biakan darah. Untuk demam enterik yang dicurigai,
rangkaian biakan darah harus dilakukan bila biakan pertama negatif karena
adanya serangan intermitten bakteremia rendah – inokulum. Lebih dari 90 %
pasien demam tifoid yang tidak diobati mempunyai biakan darah dan sumsum tulang
positif selama minggu pertama sakit. Hasilnya menurun seiring waktu dengan
peningkatan positif biakan tinja dan urin secara bersamaan. 7
Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastroentestinal,
dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini
maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka tifoid. Diagnosis pasti
ditegakkan melalui isolasi S. typhi
dari darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinana mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien lebih
besar daripada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses,
kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari
aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat
pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai
dalam praktek sehari – hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup
baik. 5
Uji
serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi
terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat
diagnosis demam tifoid. Di Indonesia, pengambilan angka titer O aglutinin ≥1/40
dengan memakai uji Widal slide
aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96 %. Artinya apabila hasil
tes positif, 96 % kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif
tidk menyingkirkan. Banyak senter berpendapat apabila titer O aglutinin sekali
diperiksa ≥1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan
pasca imunisasi atau infeksi masa lampau. 8
Diagnosa
demam tifoid ditegakkan atas dasar anamnesis, gambaran klinik dan laboratorium (jumlah lekosit menurun dan titer widal yang
meningkat) . Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya bakteri pada salah satu biakan. Adapun
beberapa kriteria diagnosis demam tifoid adalah sebagai berikut :
·
Tiga
komponen utama dari gejala demam tifoid yaitu:
1. Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari). Demam naik
secara bertahap lalu menetap selama beberapa hari, demam terutama pada sore/
malam hari.
2. Gejala gastrointestinal; dapat berupa obstipasi, diare,
mual, muntah,hilang nafsu makan dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan
lidah kotor tepi hiperemi.
3. Gangguan susunan saraf pusat/ kesadaran; sakit kepala,
kesadaran berkabut, bradikardia relatif.
8.
PENATALAKSANAAN
Sebagian
besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi
yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik.
Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan,
elektrolit serta nutrisi di samping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat
dilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama
karena pada dasarnya patogenesis infeksi S.
typhi berhubungan dengan keadaan bakterimia.
World Health Organization (WHO) merekomendasikan anak dengan demam tifoid diterapi
dengan fluoroquinolone ( Ciprofloxacin, Gatifloxacin, Ofloxacin,
and Perfloxacin) sebagai
pengobatan linea pertama selama 7-10 har. Dosis ciprofloxacin oral adalah 2 X 15 mg/kgBB/hari. selama 7–10
hari. Jika respon terhadap pengobatan menunjukkan hasil yang jelek, maka
diberikan antibiotik line kedua, seperti cephalosporin generasi ke-3 atau
azithromycin. Dosis cetriaxone (IV)
adalah 80 mg/kgB/hari selama 5– 7 hari, atau Azithromycin: 20 mg/kgBB/hari
selama 5–7 hari. 1
Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI) masih menggunakan kloramfenikol sebagai pilihan
pertama pada demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100 mg / kgBB/ hari
dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10 – 14 hari atau sampai 5 – 7 hari
setelah demam turun, sedang pada kasus dengan malnutrisi atau penyakit,
pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari, 4 – 6 minggu untuk osteomielitis
akut, dan 4 minggu untuk meningitis.
Ampisilin
memberikan respon perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan dengan
kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200 mg/kgBB/ hari diabagi dalam 4
kali pemberian secara intravena. Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kg BB/ hari
dibagi dalam 4 kali pemberian peroral memberikan hasil yang setara dengan
kloramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama. Kombinasi trimethoprim
sulfametokzasol (TMP-SMZ) memberikan hasil yang kurang baik dibanding
kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah TMP 10 mg/kgBB/hari atau SMZ 50
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Di beberapa negara sudah dilaporkan kasus demam
tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Strain yang resisten umumnya
rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga. Pemberian sefalosporin generasi
ketiga seperti ceftriaxone 100 mg / kg BB/ hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis
(maksimal 4 g/ hari) selama 5 – 7 hari atau cefotaxime 150 – 200 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolat yang rentan. Akhir – akhir ini
cefixime oral 10 – 15 mg / kg BB/ hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai
alternatif, terutama apabila jumlah leukosit < 2000/µl atau dijumpai
resistensi terhadap S. typhi . 8
9.
KOMPLIKASI
·
Perforasi usus pada tempat inokulasi,
biasanya pada ileum, terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan gastrointestinal
beratterjadi pada 1- 10% anak dengan demam tifoid.
·
Ensefalopati toksik, trombosis serebral,
ataksia serebelar akut, neuritis optik, afasia, ketulian, serta kolesistitis
akut dapat terjadi
·
Pneumonia biasa terjadi selama stadium
kedua penyakit, tetapi disebabkan oleh superinfeksi. 2
10. PROGNOSIS
Prognosis demam tifoid tergantung tepatnya terapi, usia,
keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju,
dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1 %. Di negara
berkembang, angka mortalitasnya > 10% biasanya karena keterlambatan
diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi
gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan
pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. 8
Prognosis juga menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat
gejala klinis yang berat seperti : 4
a. Panas tinggi (hiperpireksia) atau
febris kontinu
b. Kesadaran menurun sekali yaitu
stupor, koma, atau delirium
c. Keadaan gizi penderita buruk
(malnutrisi energi protein)
11. PENCEGAHAN
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan terkontaminasi S. typhi, maka setiap individu harus
memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsi. S. typhi di dalam air akan mati apabila
dipanasi setinggi 57 ºC untuk beberapa menit atau dengan proses
ionidasi/klorinasi. 8
Secara lebih detail, strategi pencegahan demam tifoid
mencakup hal–hal berikut : 9
a. Penyediaan sumber air minum yang
baik
b. Penyediaan jamban yang sehat
c. Sosialisasi budaya cuci tangan
d. Sosialisasi budaya merebus air
sampai mendidih sebelum diminum
e. Pemberantasan lalat
f. Pengawasan kepada para penjual makanan
dan minuman
g. Sosialisasi pemberian ASI pada ibu
menyusui
h. Imunisasi
Walaupun imunisasi tidak dianjurkan
di AS (kecuali pada kelompok yang beresiko tinggi), imunisasi pencegahan tifoid
termasuk dalam program pengembangan imunisasi yang dianjurkan di Indonesia.
Akan tetapi, program ini masih belum diberikan secara gratis karena
keterbatasan sumber daya pemerintah Indonesia. Oleh sebab itu orang tua harus
membayar biaya imunisasi untuk anaknya. 9
Jenis vaksinasi yang tersedia adalah :
a. Vaksin parenteral utuh
Berasal dari sel S. typhi utuh yang sudah mati. Setiap cc
vaksin mengandung sekitar 1 miliar kuman. Dosis untuk anak usia 1-4 tahun
adalah 0,1 cc, anak usia 6-12 tahun 0,25 cc, dan dewasa 0,5 cc. Dosis diberikan
2 kali dengan interval 4 minggu. Karena efek samping dan tingkat
perlindungannya yang pendek, vaksin jenis ini sudah tidak beredar lagi. 9
b. Vaksin oral Ty21a
Ini adalah vaksin oral yang
mengandung S. typhi strain Ty21a
hidup. Vaksin diberikan pada usia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul setiap
2 hari selama 1 minggu. Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bisa memberikan
perlindungan selama 5 tahun. 9
c. Vaksin parenteral polisakarida
Vaksin ini berasal dari polisakarida
Vi dari kuman Salmonella. Vaksin diberikan secara parenteral dengan dosis
tunggal 0,5 cc intramuskular pada usia mulai 2 tahun dengan dosis ulangan
setiap 3 tahun. Jenis vaksin ini menjadi pilihan utama karena relatif paling
aman. 9
DAFTAR PUSTAKA
1.
Anonim,
2012. Recommendations for management of
common childhood conditions. http://www.who.or.id
2.
Behrman, Richard, 2007. Nelson Esensi Pediatri. Edisi 4. Penerbit
Buku Kedokteran EGC : Jakarta
3.
Diagnosis laboratorium
demam tifoid by Dr.Luci Liana,SpPK.[cited] des 2010. http://www.abclab.co.id .
4.
Hassan, Rusepno, 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
5.
Isselbacher, Kurt, 2010. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
Edisi 13. Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
6.
Rubenstein, David, 2006. Kedokteran Klinis. Edisi keenam.
Erlangga : Jakarta
7.
Rudolph, abraham, 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Edisi 2.
Volume 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
8.
Soedarmo, Sumarmo, 2012. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.
Edisi kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia
9.
Widoyono, 2011. Penyakit Tropis. Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Edisi kedua. Erlangga : Jakarta
artikelnya sangat bermanfaat sekali gan :) di tunggu artikel yang lainnya
BalasHapushttp://blogobattasik.com/obat-alami-demam-tifoid/