Senin, 15 April 2013

DEMAM TIFOID




1.      DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. 4
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut usus halus yang disebabkan infeksi Salmonella typhi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh feses atau urin dari orang yang terinfeksi salmonella. Tifoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis.9

2.      ETIOLOGI
Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi, basil Gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang – kurangnya tiga macam antigen yaitu antigen O (somatik, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida ), antigen H ( flagela ) dan antigen K ( selaput ). Dalam serum penderita terdapat zat anti ( aglutinin ) terhadap ketiga macam antigen tersebut. 9
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein, dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. S. typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.8
Identifikasi Salmonella dari tempat yang normalnya steril, seperti darah, cairan serebrospinal, dan cairan sendi tidak memerlukan media khusus. Tinja mengandung banyak mikroorganisme lain sehingga memerlukan media selektif seperti agar sulfat bismut atau agar deoksilat, yang mengandung penghambat flora tinja normal. Spesimen tinja yang diletakkan dalam kaldu yang diperkaya sebelum dilapiskan pada media agar akan meningkatkan jumlah organisme. 7








Gambar 1. Salmonella typhi

3.      EPIDEMIOLOGI
Penyebab demam tifoid secara klinis hampir selalu Salmonella yang beradaptasi pada manusia, sebagian besar kasus dapat ditelusuri pada karier manusia. Penyebab yang terdekat mungkin air ( jalur paling sering ) atau makanan yang terkontaminasi oleh karier manusia. Karier menahun umumnya berusia lebih dari 50 tahun, lebih sering pada perempuan, dan sering menderita batu empedu. S. typhi berdiam dalam empedu bahkan di bagian dalam empedu, dan secara intermiten mencapai lumen usus dan dieksresikan ke feses, sehingga mengkontaminasi air atau makanan. 5
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Serikat dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91 % kasus. Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan dari Amerika Serikat. 8
Saat ini demam tifoid masih berstatus endemik di banyak wilayah di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, di mana sanitasi air dan pengolahan limbah kotoran tidak memadai. Sementara, kasus tifoid yang ditemukan di negara maju saat ini biasanya akibat terinfeksi saat melakukan perjalanan ke negara-negara dengan endemik tifoid. Pada area-area endemik, kejadian demam tifoid paling tinggi terjadi pada anak-anak usia 5 sampai 19 tahun, pada beberapa kondisi tifoid secara signifikan menyebabkan kesakitan pada usia antara 1 hingga 5 tahun. Pada anak usia lebih muda dari setahun, penyakit ini biasanya lebih parah dan berhubungan dengan komplikasi yang umumnya terjadi. Di seluruh dunia diperkirakan antara 16–16,6 juta kasus baru demam tifoid ditemukan dan 600.000 diantaranya meninggal dunia. Di Asia diperkirakan sebanyak 13 juta kasus setiap tahunnya. Suatu laporan di Indonesia diperoleh sekitar 310 – 800 per 100.000 sehingga setiap tahun didapatkan antara 620.000 – 1.600.000 kasus. Demam tifoid di Indonesia masih merupakan penyakit endemik, mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa. Demam ini terutama muncul di musim kemarau dan konon anak perempuan lebih sering terserang. Peningkatan kasus saat ini terjadi pada usia dibawah 5 tahun. 9

4.      PATOGENESIS
Setelah tertelan, bakteri harus menembus beberapa mekanisme pertahanan tubuh pejamu sebelum menimbulkan infeksi. Biasanya Salmonella mati pada lingkungan yang bersifat asam, oleh karena itu terjadi pengurangan inokulum yang banyak setelah bersentuhan dengan isi lambung. Pengurangan selanjutnya terjadi di usus halus melalui efek antibakteri langsung dari pertarungan organisme dengan flora usus normal. Gangguan mekanisme pertahanan pejamu ini meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.7
Ketika masuk ke dalam usus halus, bakteri melekat pada permukaan epitel, yang menimbulkan kerusakan sel pada brush border.  Invasi mukosa sesungguhnya oleh salah satu dari dua mekanisme yang berbeda menimbulkan infeksi klinis. Proses pertama ialah masuknya segera bakteri secara langsung ke epitel, kedua terjadi proliferasi intraluminal organisme menjadi inokulum yang cukup menaklukkan pertahanan pejamu setempat. Kemudian salmonella memasuki sitoplasma epitel melalui invaginasi membran sel dan tinggal di dalam vakuola ini sampai dihantarkan ke lamina propria, tempat terjadinya reaksi peradangan yang hebat. Bercak Peyer di ileum distal adalah tempat primer penetrasi bakteri. Sistem retikuloendotelial slanjutnya akan dikolonisasi melalui aliran limfe. Limfe yang mengalir melalui duktus torasikus menghantarkan bakteri masuk ke aliran darah, dari sini terjadi diseminasi ke organ yang jauh. Sel retikuloendotelial di sumsum tulang, hati dan limpa memakan bakteri yang menyebar secara hematogen ini, yang kadang – kadang menimbulkan fokus infeksi. Organisme yang menyebar melalui darah  mencapai kandung empedu, memperbanyak diri, dan masuk empede serta usus halus secara sekunder.7
Salmonella dapat hidup di dalam sel untuk waktu lama. S. typhi dietemukan di dalam fagosit mononuklear di jaringan limfe pejamu, ketidakmampuan monosit menghancurkan S. typhi secara efektif setelah melakukan fagositosis mungkin berperan pada penyebaran luas organisme penyebab selama demam tifoid. S. typhi virulen  juga dapat menghalangi metabolisme oksidatif leukosit polimorfonuklear, yang mencegah penghancuran bakteri yang difagosit pada stadium dini infeksi. Selanjutnya, kemampuan menolak imunitas selular pejamu bisa berperan pada patofisiologi yang menyebabkan demam tifoid. 7
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu :
1.      Penempelan dan invasi sel – sel M Peyer’s patch
2.      Bakteri bertahan hidup dan bermultifikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan organ – organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial
3.      Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah
4.      Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal. 8
Gambar 2. Patogenesis Demam Tifoid




5.      GEJALA KLINIS
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonella, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit di rumahnya. 8
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata – rata 10 – 20 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak besemangat. 4
Umumnya gejala klinis timbul 8-14 hari setelah infeksi yang ditandai dengan demam yang tidak turun selama lebih dari 1 minggu terutama sore hari, pola demam yang khas adalah kenaikan tidak turun selama lebih dari 1 minggu terutama sore hari, pola demam yang khas adalah kenaikan tidak langsung tinggi tetapi bertahap seperti anak tangga (stepladder), sakit kepala hebat, nyeri otot, kehilangan selera makan (anoreksia), mual, muntah, sering sukar buang air besar (konstipasi) dan sebaliknya dapat terjadi diare.3
a.       Demam
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era pemakaian entibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperatur chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama. 8 Dalam  minggu ke-2 penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ke-3 suhu badan berangsur – angsur turun 4 kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. 8
b.      Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat napas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah – pecah(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor ( coated tongue ), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meterorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan.4
c.       Gangguan kesadaran
Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apati sampai koma. 8
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm, seringkali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke-7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
Status tifosa :
-          Demam lebih dari tujuh hari
-          Lidah kotor, ujung dan tepinya kemerahan
-          Gangguan kesadaran yang berupa penurunan kesadaran ringan, apati, somnolen, hingga koma.8
Gambar 3. Lidah kotor, tepi hiperemis

6.      PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.        Hematologi
·         Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus atau perforasi. 3
·         Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi. 3
·         Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif. 3
·         LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat 3
·         Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia). 3
b.      Urinalis
·         Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam) 3
·         Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit. 3
c.       Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai hepatitis Akut. 3
d.       Imunologi
·         Widal
Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi / paratyphi (reagen). Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin.Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik lain.
3
Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160 , bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu. Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontrak sebelumnya. 3
·         Elisa Salmonella typhi/paratyphi lgG dan lgM
Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di ketahui. Diagnosis Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan 1/ bila lgM positif menandakan infeksi akut; 2/ jika lgG positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik. 3
e.       Mikrobiologi
·         Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil :  jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi.Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja. 3
f.       Biologi molekular.
·         PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi. 3


7.      DIAGNOSA
Salmonella harus selalu dipikirkan sebagai penyebab potensial gastroenteritis.  Demam, tanda – tanda disentri, defisiensi imun, baru imigrasi dari daerah endemik, atau kaitan dengan sumber wabah yang umum harus meningkatkan kecurigaan.7
Tinja harus selalu dibiak. Bila tidak diperoleh tinja segar, dapat dibiak apusan rektum, walaupun kemungkinan menemukan organisme lebih rendah. Kompetisi bakteri dan sedikitnya inokulum mungkin memerlukan pembiakan lebih dari satu spesimen untuk menemukan Salmonella. 7
Gastroenteritis dengan demam, terutama pada anak berusia di bawah 2 tahun, biasanya merupakan indikasi untuk melakukan biakan darah. Untuk demam enterik yang dicurigai, rangkaian biakan darah harus dilakukan bila biakan pertama negatif karena adanya serangan intermitten bakteremia rendah – inokulum. Lebih dari 90 % pasien demam tifoid yang tidak diobati mempunyai biakan darah dan sumsum tulang positif selama minggu pertama sakit. Hasilnya menurun seiring waktu dengan peningkatan positif biakan tinja dan urin secara bersamaan. 7
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastroentestinal, dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka tifoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinana mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien lebih besar daripada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari – hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik. 5
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia, pengambilan angka titer O aglutinin ≥1/40 dengan memakai uji Widal slide aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96 %. Artinya apabila hasil tes positif, 96 % kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidk menyingkirkan. Banyak senter berpendapat apabila titer O aglutinin sekali diperiksa ≥1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau. 8
Diagnosa demam tifoid ditegakkan atas dasar anamnesis, gambaran klinik dan laboratorium  (jumlah lekosit menurun dan titer widal yang meningkat) . Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya bakteri pada salah satu biakan. Adapun beberapa kriteria diagnosis demam tifoid adalah sebagai berikut :
·         Tiga komponen utama dari gejala demam tifoid yaitu:
1. Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari). Demam naik secara bertahap lalu menetap selama beberapa hari, demam terutama pada sore/ malam hari.
2. Gejala gastrointestinal; dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah,hilang nafsu makan dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
3. Gangguan susunan saraf pusat/ kesadaran; sakit kepala, kesadaran berkabut, bradikardia relatif.

8.      PENATALAKSANAAN
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi di samping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi S. typhi berhubungan dengan keadaan bakterimia.
World Health Organization (WHO) merekomendasikan anak dengan demam tifoid diterapi dengan  fluoroquinolone ( Ciprofloxacin, Gatifloxacin, Ofloxacin, and Perfloxacin) sebagai pengobatan linea pertama selama 7-10 har. Dosis ciprofloxacin oral adalah 2 X 15 mg/kgBB/hari. selama 7–10 hari. Jika respon terhadap pengobatan menunjukkan hasil yang jelek, maka diberikan antibiotik line kedua, seperti cephalosporin generasi ke-3 atau azithromycin. Dosis  cetriaxone (IV) adalah 80 mg/kgB/hari selama 5– 7 hari, atau Azithromycin: 20 mg/kgBB/hari selama 5–7 hari. 1
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) masih menggunakan kloramfenikol sebagai pilihan pertama pada demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100 mg / kgBB/ hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10 – 14 hari atau sampai 5 – 7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus dengan malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari, 4 – 6 minggu untuk osteomielitis akut, dan 4 minggu untuk meningitis.
Ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200 mg/kgBB/ hari diabagi dalam 4 kali pemberian secara intravena. Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kg BB/ hari dibagi dalam 4 kali pemberian peroral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama. Kombinasi trimethoprim sulfametokzasol (TMP-SMZ) memberikan hasil yang kurang baik dibanding kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah TMP 10 mg/kgBB/hari atau SMZ 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Di beberapa negara sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Strain yang resisten umumnya rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga. Pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti ceftriaxone 100 mg / kg BB/ hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 g/ hari) selama 5 – 7 hari atau cefotaxime 150 – 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolat yang rentan. Akhir – akhir ini cefixime oral 10 – 15 mg / kg BB/ hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai alternatif, terutama apabila jumlah leukosit < 2000/µl atau dijumpai resistensi terhadap S. typhi . 8

9.      KOMPLIKASI
·         Perforasi usus pada tempat inokulasi, biasanya pada ileum, terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan gastrointestinal beratterjadi pada 1- 10% anak dengan demam tifoid.
·         Ensefalopati toksik, trombosis serebral, ataksia serebelar akut, neuritis optik, afasia, ketulian, serta kolesistitis akut dapat terjadi
·         Pneumonia biasa terjadi selama stadium kedua penyakit, tetapi disebabkan oleh superinfeksi. 2

10.  PROGNOSIS
Prognosis demam tifoid tergantung tepatnya terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1 %. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10% biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. 8
Prognosis juga menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti : 4
a.       Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinu
b.      Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma, atau delirium
c.       Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein)

11.  PENCEGAHAN
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan terkontaminasi S. typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsi. S. typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57 ºC untuk beberapa menit atau dengan proses ionidasi/klorinasi. 8
Secara lebih detail, strategi pencegahan demam tifoid mencakup hal–hal berikut : 9
a.       Penyediaan sumber air minum yang baik
b.      Penyediaan jamban yang sehat
c.       Sosialisasi budaya cuci tangan
d.      Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidih sebelum diminum
e.       Pemberantasan lalat
f.       Pengawasan kepada para penjual makanan dan minuman
g.      Sosialisasi pemberian ASI pada ibu menyusui
h.      Imunisasi
Walaupun imunisasi tidak dianjurkan di AS (kecuali pada kelompok yang beresiko tinggi), imunisasi pencegahan tifoid termasuk dalam program pengembangan imunisasi yang dianjurkan di Indonesia. Akan tetapi, program ini masih belum diberikan secara gratis karena keterbatasan sumber daya pemerintah Indonesia. Oleh sebab itu orang tua harus membayar biaya imunisasi untuk anaknya. 9
Jenis vaksinasi yang tersedia adalah :
a.       Vaksin parenteral utuh
Berasal dari sel S. typhi utuh yang sudah mati. Setiap cc vaksin mengandung sekitar 1 miliar kuman. Dosis untuk anak usia 1-4 tahun adalah 0,1 cc, anak usia 6-12 tahun 0,25 cc, dan dewasa 0,5 cc. Dosis diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu. Karena efek samping dan tingkat perlindungannya yang pendek, vaksin jenis ini sudah tidak beredar lagi. 9
b.      Vaksin oral Ty21a
Ini adalah vaksin oral yang mengandung S. typhi strain Ty21a hidup. Vaksin diberikan pada usia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul setiap 2 hari selama 1 minggu. Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bisa memberikan perlindungan selama 5 tahun. 9
c.       Vaksin parenteral polisakarida
Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kuman Salmonella. Vaksin diberikan secara parenteral dengan dosis tunggal 0,5 cc intramuskular pada usia mulai 2 tahun dengan dosis ulangan setiap 3 tahun. Jenis vaksin ini menjadi pilihan utama karena relatif paling aman. 9



DAFTAR PUSTAKA

1.      Anonim, 2012. Recommendations for management of common childhood conditions. http://www.who.or.id

2.      Behrman, Richard, 2007. Nelson Esensi Pediatri. Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta

3.      Diagnosis laboratorium demam tifoid by Dr.Luci Liana,SpPK.[cited] des 2010. http://www.abclab.co.id .

4.      Hassan, Rusepno, 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta

5.      Isselbacher, Kurt, 2010. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 13. Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta

6.      Rubenstein, David, 2006. Kedokteran Klinis. Edisi keenam. Erlangga : Jakarta

7.      Rudolph, abraham, 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Edisi 2. Volume 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta

8.      Soedarmo, Sumarmo, 2012. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia

9.      Widoyono, 2011. Penyakit Tropis. Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan Pemberantasannya. Edisi kedua. Erlangga : Jakarta


1 komentar:

  1. artikelnya sangat bermanfaat sekali gan :) di tunggu artikel yang lainnya

    http://blogobattasik.com/obat-alami-demam-tifoid/

    BalasHapus